Minggu, 07 September 2008

Berkelana di Negeri Tak Berwarna

Beringsut menerka, setiap jejak sejarah

Talutan nada dari hidung yang kian panjang adalah tanda,

hayat masih kudekap



Saat konfoi ketajaman zaman,

bukanlagi isyarat kekuatan negeri

Hanya ada tuntutan yang jauh dari tuntunan

Mungkin ini pertautan oleh zaman



Merah, kuning, hijau yang semua berubah menjadi tak berwarna,

karena ketiadaan ikhlas dan kejujuran



Inilah awal robohnya bangunan yang kian tua,

Indonesia..





2 juli 2008

Sabtu, 06 September 2008

Binasa

Senyap melonglong ruang kosong

Sejenak nafas tertarik dalm himpitan

lapar, dahaga, marah.....

Meluluh sujudku yang tinggal menghitung detik

 

Terkoyak seluruh niat,

bukti kekerdilan iman terkatup zaman

Diantara rongga kemewahan,

dan bualan menguntungkan



Celah pun terisi hitam yang membahagiaan,

meski bertabur nista yang kasab mata


Jumat, 15 Agustus 2008

Politisi keranjingan virus pamer di media masa

Oleh : Septina Nafiyanti*


Pengaruh media masa yang cukup banyak menyita
perhatian publik, rupanya tidak dilewatkan oleh para
elit politik. Bahkan beberapa politisi seperti
Wiranto, Megawati, Sutiyoso dan Andi Malarangeng siap
tempur di media masa demi menarik perhatian publik.

Pesta pemilihan umum (pemilu) yang tinggal sejengkal,
ternyata gaungnya sudah dapat kita rasakan mulai
sekarang. Sejumlah elit politik sudah siap tebar
pesona di mana-mana, termasuk di media masa.
Masing-masing politisi mulai menyanjung-nyanjung
dirinya sendiri dengan jurus membuai publik.

Di zaman yang serba instan seperti saat ini,
sepertinya kampanye model lama memang sedikit banyak
mulai di eliminir. Selain hanya menghimpun masa yang
membuat kerusuhan dan mengganggu ketertiban umum,
kampanye model klasik ini ternyata tidak lagi efektif
karena hanya menggembar-gemborkan si calon pemimpin
tanpa adanya gambaran sosok calon yang akan mereka
pilih. Alhasil, media masa jadi pilihan paling ideal
untuk menunjukkan pada publik tentang hal-hal baik
yang berhubungan dengan si politisi tersebut.

Selama ini media masa –terutama televisi-
memang terkenal dengan panggung hiburannya. Banyak
artis yang menyita perhatian publik dengan membuat
sensasi, dan ternyata cara ini sangat efektif untuk
mendongkrak nama-nama baru di kalangan artis ibu kota.
Mungkin itulah yang membuat inspirasi bagi para
politisi untuk turut mendongkrak nama mereka lewat
nampang di sejumlah media masa.
Nama-nama politisi yang namanya bakal terpampang saat
pesta pemilu tahun ini, rupanya sudah menyiapkan
amunisi untuk melawan saingannya. Media merupakan
andalan yang cukup memberikan bekal rasa percaya diri
pada pesta yang menguras uang negara . Namun apakah
rakyat siap dengan gempuran media yang mengibarkan
nama-nama politisi tersebut, dan dengan memamerkan
kelebihannya masing-masing tanpa sedikitpun
membeberkan tentang kekurangannya? Jika semacam ini
kasusnya, apakah benar rakyat bisa memilih calon
pemimpin dengan benar?

Skenario para politisi

Jika bualan-bualan kosong para politisi memenuhi layar
kaca televisi, dan satu halaman penuh koran, maka
sudah dapat dipastikan pilihan rakyat hanya
halusinasi, seperti halnya rakyat menonton sinetron,
dan rakyat telah masuk pada setting si penulis
skenario. Begitulah gilanya moral pemimpin rakyat ini
yang memaksa rakyatnya masuk pada skenario mereka.

Di saat bangsa Indonesia mengalami permasalahan
komplek yang terus menjejali bangsa Indonesia selama
ini. Sudah barang tentu, kita sangat membutuhkan sosok
pemimpin yang siap berjuang untuk bangsa ini tanpa
pamrih. Bukan malah berhayal jadi pemimpin di negeri
dongeng.

Wilayah bangsa Indonesia yang berserak dari
Sabang sampai Merauke serta terdiri dari berbagai
macam suku ras, dan agama merupakan fenomena nyata
yang harus dijaga keserasiaannya. Melihat besarnya
tanggung jawab yang nantinya harus di jaga dia atas
tampuk kekuasaan pemimpin bangsa ini, maka bukan lagi
saatnya mereka tebar pesona kepada publik namun
berfikir akan dibawa kemana rakyat Indonesia ke
depan?

Media juga seharusnya dapat menempatkan porsi mereka
sebagai calon pemimpin bangsa ini. jangan sampai media
hanya sebagai tempat iklan. Namun mencari cara
bagaimana mengekspose seluruh gerak gerik para calon
pemimpin bangsa agar publik –khususnya rakyat
Indonesia-  tahu benar figur calon pemimpin
yang akan mereka pilih.

Minggu, 10 Agustus 2008

Jangan Korbankan Lagi Nasib Rakyat

Oleh: Septina Nafiyanti*

Surat keputusan bersama (SKB) lima menteri untuk pengoptimalan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di Jawa-Bali akhirnya diberlakukan pada 21 Juli 2008. keputusan yang menggetirkan bnyak pihak tersebut akhirnya memaksa pekerja untuk masuk kerja pada hari libur.

Susut (losses) energi yang tak mampu ditangani PLN, menjadi alasan pemerintah membuat kesepakatan untuk merubah jam kerja. Padahal secara tidak langsung pemrintah justru memporak-porandakan pola kerja dan ketepatan dalam pembagian waktu. Jam kerja yang umumnya mulai hari senin sampai jum’at secara tiba-tiba di ganti menjadi sabtu dan mingggu. Padahal umumnya hari libur tersebut merupkan jam berkumpul keluarga dengan perhatian lebih terhadap anak-anak setelah lima hari menghabiskan waktu di tempat kerja.

Bukan hanya waktu saja yang dirugikan. Secara finansial, kemungkinan kerugian untuk para pekerja atau pun perusahaan juga tidak kalah besar. Beban lembur yang di bebankan kepada perusahaan ternyata juga menjadi masalah yang cukup besar, karena perusahaan akan membayar dua kali lipat dari gaji biasa. Lebih parah lagi jika perusahaan tidak mau membayar lembur, secara otomatis kerugian besar kembali di reguk para buruh.

Butuh Analisis Lebih Lanjut

Analisis kejadian tersebut seharusnya menjadi pertimbangan cukup besar oleh pemerintah. Pasalnya, selama ini pemerintah hanya menuruti keluhan-keluhan PLN tanpa berfikir panjang tentang nasib rakyat. Padahal semua tahu, posisi PLN sebagai perusahaan yang memonopoli seluruh pasokan listrik di Indonesia tidak mungkin mengalami kerugian. Bahkan berapapun tarif yang diberikan PLN, rakyat tetap harus membayar karena tidak ada pilihan lain. Belum lagi subsidi yang baru saja diberikan pemerintah sebesar 60 triliyun dengan alasan kenaikan BBM juga terpenuhi.

Sepertinya pemerintah tidak pernah mau tahu urusan rakyat. Semua beban di berikan kepada rakyat tanpa mau memperhatikan bagaimana kinerja PLN. Pemerintah seharusnya tidak gegabah mengambil keputusan. Konskuensi atas setiap tindakaan seharusnya difikirkan secara matang.

Di saat rakyat terkena imbas dari segala permasalahan di negeri ini, pemerintah seharusnya muncul sebagai pembela rakyat Analisis terhadap masalah listrik seharusnya lebih ditekankan ke wilayah PLN sendiri. Pendanaan yng cukup besar dari pemerintah seharusnya ada evaluasi secara pasti sehingga benar-benar untuk kepentingan pemenuhan listrik kepada rakyat. Karena bagaimanapun kita tetap harus waspada dengan aliran dana ke PLN, pasalnya dana yang di keluarkan tidak seimbang dengan hasil yang berupa distribusi listrik byar-pet yang diberikan kepada rakyat.

Pemerintah memang perlu mengawasi kinerja PLN secara intens. Karena Segala kemungkinan memang bisa saja terjadi. Misalnya saja, kemungkinan mereka yang bekerja di PLN bisa jadi tidak berkompeten dalam bidangnya atau malah tidak bekerja dengan baik. Kini saatnya pemerintah membuka mata, agar tidak selalu merugikan rakyat.

Kamis, 31 Juli 2008

Spirit Revitalisasi Integritas Bangsa

Septina Nafiyanti*

Selama lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia telah menghirup kemerdekaan di nafas kehidupan. Dalam catatan sejarah yang termaktub di setiap teks keabadian, naskah perjalanan Indonesia terus bergulir seiring perkembangan menjadi bangsa besar. Kebhinekaan menjadi indentitas kebesaran bangsa yang wilayahnya berserak oleh selat dan samudra. Keragaman identitas tersebut seolah menjadi tombak yang siap dijadikan senjata, yang akan menjadi perisai menghadapi medan kontestasi dunia, akan tetapi, juga menjadi bumerang yang siap menikam.

Analogi tersebut memang tidak salah jika digunkan untuk menggambarkan bangsa ini. Karena dengan kondisi bangsa yang besar, sudah semestinya Indonesia menjadi sebuah bangsa yang cukup diperhitungkan di kancah pergaulan global. Namun pada kenyataannya, eksistensi Indonesia dalam percaturan negara-negara dunia semakin kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang besar.

Munculnya riak permasalahan tersebut memang tidak lepas dari berbagai aspek. Dari segi politik, wajah kusam masa depan keindonesiaan mengakibatkan, bangsa ini semakin tersisih dalam percaturan politik dunia. Dalam bidang ekonomi, Indonesia mengalami kemunduran semenjak terjadi krisis multidimesi beberapa tahun yang lalu. Atau permasalahan yang berakar dari bangsa ini sendiri, seperti masalah SARA yang sempat terjadi di Ambon, Sampit, Poso, Papua, dan beberapa daerah lain yang sampai saat ini belum selesai. Masalah-masalah tersebut seolah mengisyaratkan rapuhnya bangunan besar yang bernama Indonesia.

Wilayah Indonesia yang begitu besar memang bukan semata-mata warisan sejarah. Karena semenjak wilayah nusantara dijajah, identitas kerajaan besar yang saat itu berkuasa seperti Majapahit, Demak, Mataram, dan lainnya sudah terhapus sejak lama. Hanya kesadaran masyarakat yang saat itu yang dimulai dari Budi Utomo (1908), sampai Sumpah Pemuda (1928), hingga kemerdekaan (1945) yang di dapat adalah pengorbanan yang luar biasa dari bangsa Indonesia.

Kini saatnya, bangsa Indonesia berkaca pada sejarah perjuangan bangsa untuk memperoleh kemerdekaan. Rasa nasionalisme perlu kembali dibangun untuk mengantarkan bangsa ini pada integrasi. Semangat untuk menggapai kejayaan hendaknya digapai, dengan berjuang keras menempa human resources anak bangsa. Pendidikan progresif-transformatif seharusnya diaktualisasikan dalam ranah faktual, agar generasi muda bangsa ini, siap menghadapi gempuran kontestasi. Need for achievement, semangat berkompetisi dan keteguhan mendekap jejak integrasi, hendaknya menjadi karakter dasar yang tertanam kuat dalam kehidupan bangsa.

Mengembalikan Kepercayaan di Tengah Krisis Kejujuran

septina nafiyanti*

Bertahun-tahun Indonesia tercap sebagai negara korup. Tak tanggung-tanggung sebutan tersebut merupakan hasil survai Corruption perception index (CPI) tahun 2006 yang dirilis Transparency International (TI) pada 4 November lalu meletakan Indonesia pada peringkat 7 negara terkorup dari 163 negara. Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang kini tengah dihadapai bangsa Indonesia.

Parahnya, kondisi itu tidak hanya berdurasi beberapa saat akan tetapi terus berlanjut sampai saat ini. Para tersangka kasus korupsi merasa aman dengan proses peradilan yang mudah disuap. Hal itu merupakan suatu indikasi jelas keterpurukan bangsa Indonesia dalam hal kejujuran. Minimnya kejujuran yang dimiliki aparatur negara jelas merupakan suatu penegasan terhadap arah bangsa yang kian waktu kian memburuk. Turunnya tingkat investasi negara asing terhadap sejumlah perusaan di Indonesia juga merupakan salah satu implikasi yang cukup jelas dari ketidakpercayaan mereka.

Tak hanya dalam kasus korupsi saja, Indonesia disangsikan kejujurannya. Dalam banyak kasus, misalnya kejujuran sejumlah guru yang membeberkan kecurangan terhadap hasil UN di Sumatra Utara beberapa waktu ternyata harus terancam pemecatan, hal ini juga turut menambah nilai plus terhadap citra bangsa Indonesia dengan ketidakjujurannya. Belum lagi jika kita mengingat kasus IPDN yang saat ini masih terus bergulir dan sempat heboh seta melejit lewat berbagai media. Untuk membuka kebenaran Inu Kencana yang berkedudukan sebagai dosen institut tersebut juga harus mempertaruhkan kedudukannya karena ancaman pemecatan.

Sebenarnya masih banyak kejadian dengan jumlah tak terhitung juga turut mempertegas bahawa bangsa Indonesia lebih menghargai ketidakjujuran dari pada kejujuran yang sejatinya lebih bernilai luhur. Tak heran jika kejujuran di Indonesia semakin langka.

Ternyata krisis multidimensi memang benar-benar melanda bangsa Indonesia. Tak hanya krisis keuangan, namun yang paling parah adalah krisis kejujuran dan krisis kepercayaan yang kini identik dimiliki masyarakat Indonesia. Disadari atau tidak, permasalahan ini harus mendapat perhatian khusus dari seluruh pihak, khususnya pemerintah. Karena diakui atau tidak, pemerintahlah yang memulainya secara terang-terangan melalui kasus korupsi. Pemerintah sebagai pihak penguasa seharusnya bisa memberikan teladan yang baik bagi rakyat dan harus tegas memberikan sangsi teradap pihak yang bersalah.

Selain pemerintah, pihak yang terkait dengan pengadilan juga harus sadar akan tanggung jawabnya. Itu berarti mereka harus jujur dalam menentukan peradilan. Sehingga masyarakat benar-benar percaya akan perannya. Dengan dimulainya kejujuran dari pihak-pihak yang berkedudukan tinggi serta dengan sanksi yang tegas oleh pihak peradilan masyarakat pasti akan berusaha untuk berlaku jujur. Namun jika hal ini hanya menjadiangan-angan semata niscaya kejujuran di Indonesia sampai kapanpun akan langka, bahkan mungkin punah.

Ideologi di Tengah Arus Global

Septina Nafiyanti*


Selama puluhan tahun kita telah mengakui satu ideologi yang terpatri dalam pancasila. selama itu pula bangsa indonesia berdiri sebagai negara dengan jati diri seperti yang tertuang dalam isi pancasila. Namun seiring berubahnya waktu ideologi tersebut mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Derasnya arus global telah mengubah pola pikir masyarakat Indonesia menjadi lebih individualis. Tak heran jika persatuan yang tertuang dalam teks pancasila poin ke tiga mulai terkikis oleh sifat tersebut.

Kuatnya persaingan global yang menuntut bangsa indonesia terjun ke arena persaingan justru ditanggapi dengan sikap modernisme yang kian melenceng. pasalanya mereka justru lebih menerima pengaruh dari luar tanpa memperhatikan jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa indonesia yang tertuang dalam pancasila. seperti halnya sekularisme yang pernah menjadi musuh bangsa Indonesia karena bertentangan dengan ideologipun kini mulai ditolelir. Sungguh pergeseran budaya yang sangat luar biasa, ideologi yang dulunya terpatri dalam setiap nafas bangsa Indonesia dianggap sebagai ideolgi kuno dan ketinggalan zaman.

Tak hanya itu saja, sikap wakil rakyat yang ingin berbuat semaunya juga merupakan suatu penyimpangan dari isi pancasila poin ke empat. Bagaimana tidak, jika kerakyatan yang diimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan diganti dengan kerakyatan yang dipimpin dalam kewenangan dan perwakilan. Perubahan ideologi tersebut terlihat jelas ketika DPR sebagai wakil rakyat mengambil keputusan untuk menuntut fasilitas pribadi tanpa adanya kesepakatan rakyat.

Fenomena tersebut telah memporak-porandakan nilai luhur bangsa yang dulunya diperjuangkan oleh pendahulu-pendahulu kita. Jika kita teringat sejarah penetapan pancasila sebagai ideologi bangsa, maka kita juga akan mengingat bagaimana pejuang kita dulu berkali-kali mengajukan teks dan memusyawarahkan bersama untuk mencari ideologi yang paling tepat dari berbagai macam etnis di Indonesia. Ideologi tersebut merupakan final dari pencarian jati diri, melihat kondisi bangsa Indonesia yang plural.

Di tengah derasnya arus global seperti saat ini, seharusnya nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sangat penting untuk dipertahankan, karena nilai-nilai tersebut tidak akan pernah terkikis oleh waktu dan akan selalu relevan dengan kondisi bangsa Indonesia kapanpun. untuk mempertahankan ideologi tersebut perlu adanya peran dari seluruh masyarakat Indonesia, baik itu pemerintah, maupun rakyat.

Kesadaran masing-masing individu akan pentingnya nilai-nilai luhur bangsa sangat diperlukan. Karena lahirnya ideologi tersebut juga merupakan awal dari komitmen bangsa Indonesia untuk mengawali langkah menuju bangsa yang seutuhnya. Oleh karena itu sejarah perumusan pancasila sampai pada hasil yang diperoleh dari ideologi tersebut merupakan cermin akan pentingnya pancasila sebagai ideologi bangsa yang perlu dipertahankan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sehatusnya tidak hanya diakui sebagai formalitas akan tetapi nilai-nilai tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa. Karena nilai-nilai tersebut merupakan jiwa dari bangsa indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, budaya, dan bahasa.

Pelukan Dusta

Dalam pelukan dusta

Kukerah semua nada,

mengucur dari kedua bibir

Meletupkan suara tak bernyawa


Tergopoh, jujurku luntur

jiwaku hancur,

nadiku mendengkur,

keyakinanku soak tertempa mozaik dusta

Mengukir sejarah penghianatan


Nafas yang masih rekat dengan raga ini,

terus mecabik-cabik rasa yang timbul tenggelam,

mengitari hati

Meruntuhkan segala yang nyata

Novie Septi

Kudus, 31 juli ‘08

Kamis, 03 Juli 2008

Saatnya Membangun Kekuatan Maritim

Berita tertangkapnya kapal yang melakukan illegal fishing memang bukan kali pertama di Indonresia. Namun ironisnya peristiwa ini masih saja terus terjadi. Bahkan masih banyak kapal berbendera asing yang masih beroperasi di wilayah ZEE (zona ekonomi eksklusif).

Pelaku illegal fishing tentunya bukan nelayan bodoh yang selama ini kita kenal di Indonesia. Mereka sudah terorganisir dengan rapi dan solid, bahkan hafal betul wilayah target yang akan dijarahnya. Muncul dugaan bahwa mereka mendapat pasokan logistik dan bahan bakar dari kapal tramper dan tanker (Gatra Nomor 22, Kamis 17 April 2008). Solidnya kerja mereka mengindikasikan, bahwa mereka telah beroperasi sejak lama di perairan Nusantara.

Kemudahan mereka beroperasi memang tidak lepas dari peran oknum yang selama ini bertugas di perairan tersebut. Hal ini terbukti dari keberadaan mereka yng tetap aman selama beberapa waktu lalu. Ini seolah menjadi pertanda lemahnya kekuatan maritim di Indonesia.

Pentingnya kekuatan maritim

Diakui atau tidak, Indonesia memang sangat minim pengawasan terhadap nelayan asing. Kekuatan kita seolah hanya terpaku pada kekuatan darat. Padahal wilayah perairan indonesia lebih luas dari daratan. Bahkan, batas wilayah indonesia, sebagian besar juga merupakan wilayah perairan. Kenyataan ini berbeda dengan masa kepemimpinan presiden Soekarno. Pada masa itu, kekuatan laut kita lebih besar dari pada angkatan darat, dan tak heran jika malasyia pun tak berani berkutik ketika “ganyang Malaysia” berlaku.

Tak hanya pada masa Soekarno saja kita dapat berkaca. Bahkan jika kita menoleh lebih jauh kebelakang, Kerajaan majapahit, Demak, Mataram, merupakan contoh konkrit kebesaran wilayah nusantara yang tak lain berasal dari kekuatan maritim. Keberhasilan mereka membentuk kekuasaannya, tak lepas dari kekuatan maritim yang di bentuk dengan solid. Karena wilayah Indonesia sangat strategis dalam pelayarannya. Kini saatnya sistem di indonesia dibenahi. Bukan hanya memikirkan masalah politik dan kekuasaan individu dan kelompok. Tetapi sudah saatnya pemerintah dan wakil rakyat memikirkan nasib wilayah kita. Jangan sampai sejarah kehancuran di masa lalu terulang kembali karena masyarakatnya sibuk dengan kepentingan politik, sehingga mereka tidak akan mendapatkan papun karena wilayahnya telah diduduki oleh orang lain. Percikan sejaran masa lalu perlu menjadi contoh ditengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang kritis.

salam

blog baru