Kamis, 31 Juli 2008

Spirit Revitalisasi Integritas Bangsa

Septina Nafiyanti*

Selama lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia telah menghirup kemerdekaan di nafas kehidupan. Dalam catatan sejarah yang termaktub di setiap teks keabadian, naskah perjalanan Indonesia terus bergulir seiring perkembangan menjadi bangsa besar. Kebhinekaan menjadi indentitas kebesaran bangsa yang wilayahnya berserak oleh selat dan samudra. Keragaman identitas tersebut seolah menjadi tombak yang siap dijadikan senjata, yang akan menjadi perisai menghadapi medan kontestasi dunia, akan tetapi, juga menjadi bumerang yang siap menikam.

Analogi tersebut memang tidak salah jika digunkan untuk menggambarkan bangsa ini. Karena dengan kondisi bangsa yang besar, sudah semestinya Indonesia menjadi sebuah bangsa yang cukup diperhitungkan di kancah pergaulan global. Namun pada kenyataannya, eksistensi Indonesia dalam percaturan negara-negara dunia semakin kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang besar.

Munculnya riak permasalahan tersebut memang tidak lepas dari berbagai aspek. Dari segi politik, wajah kusam masa depan keindonesiaan mengakibatkan, bangsa ini semakin tersisih dalam percaturan politik dunia. Dalam bidang ekonomi, Indonesia mengalami kemunduran semenjak terjadi krisis multidimesi beberapa tahun yang lalu. Atau permasalahan yang berakar dari bangsa ini sendiri, seperti masalah SARA yang sempat terjadi di Ambon, Sampit, Poso, Papua, dan beberapa daerah lain yang sampai saat ini belum selesai. Masalah-masalah tersebut seolah mengisyaratkan rapuhnya bangunan besar yang bernama Indonesia.

Wilayah Indonesia yang begitu besar memang bukan semata-mata warisan sejarah. Karena semenjak wilayah nusantara dijajah, identitas kerajaan besar yang saat itu berkuasa seperti Majapahit, Demak, Mataram, dan lainnya sudah terhapus sejak lama. Hanya kesadaran masyarakat yang saat itu yang dimulai dari Budi Utomo (1908), sampai Sumpah Pemuda (1928), hingga kemerdekaan (1945) yang di dapat adalah pengorbanan yang luar biasa dari bangsa Indonesia.

Kini saatnya, bangsa Indonesia berkaca pada sejarah perjuangan bangsa untuk memperoleh kemerdekaan. Rasa nasionalisme perlu kembali dibangun untuk mengantarkan bangsa ini pada integrasi. Semangat untuk menggapai kejayaan hendaknya digapai, dengan berjuang keras menempa human resources anak bangsa. Pendidikan progresif-transformatif seharusnya diaktualisasikan dalam ranah faktual, agar generasi muda bangsa ini, siap menghadapi gempuran kontestasi. Need for achievement, semangat berkompetisi dan keteguhan mendekap jejak integrasi, hendaknya menjadi karakter dasar yang tertanam kuat dalam kehidupan bangsa.

Mengembalikan Kepercayaan di Tengah Krisis Kejujuran

septina nafiyanti*

Bertahun-tahun Indonesia tercap sebagai negara korup. Tak tanggung-tanggung sebutan tersebut merupakan hasil survai Corruption perception index (CPI) tahun 2006 yang dirilis Transparency International (TI) pada 4 November lalu meletakan Indonesia pada peringkat 7 negara terkorup dari 163 negara. Ironis memang, tapi itulah kenyataan yang kini tengah dihadapai bangsa Indonesia.

Parahnya, kondisi itu tidak hanya berdurasi beberapa saat akan tetapi terus berlanjut sampai saat ini. Para tersangka kasus korupsi merasa aman dengan proses peradilan yang mudah disuap. Hal itu merupakan suatu indikasi jelas keterpurukan bangsa Indonesia dalam hal kejujuran. Minimnya kejujuran yang dimiliki aparatur negara jelas merupakan suatu penegasan terhadap arah bangsa yang kian waktu kian memburuk. Turunnya tingkat investasi negara asing terhadap sejumlah perusaan di Indonesia juga merupakan salah satu implikasi yang cukup jelas dari ketidakpercayaan mereka.

Tak hanya dalam kasus korupsi saja, Indonesia disangsikan kejujurannya. Dalam banyak kasus, misalnya kejujuran sejumlah guru yang membeberkan kecurangan terhadap hasil UN di Sumatra Utara beberapa waktu ternyata harus terancam pemecatan, hal ini juga turut menambah nilai plus terhadap citra bangsa Indonesia dengan ketidakjujurannya. Belum lagi jika kita mengingat kasus IPDN yang saat ini masih terus bergulir dan sempat heboh seta melejit lewat berbagai media. Untuk membuka kebenaran Inu Kencana yang berkedudukan sebagai dosen institut tersebut juga harus mempertaruhkan kedudukannya karena ancaman pemecatan.

Sebenarnya masih banyak kejadian dengan jumlah tak terhitung juga turut mempertegas bahawa bangsa Indonesia lebih menghargai ketidakjujuran dari pada kejujuran yang sejatinya lebih bernilai luhur. Tak heran jika kejujuran di Indonesia semakin langka.

Ternyata krisis multidimensi memang benar-benar melanda bangsa Indonesia. Tak hanya krisis keuangan, namun yang paling parah adalah krisis kejujuran dan krisis kepercayaan yang kini identik dimiliki masyarakat Indonesia. Disadari atau tidak, permasalahan ini harus mendapat perhatian khusus dari seluruh pihak, khususnya pemerintah. Karena diakui atau tidak, pemerintahlah yang memulainya secara terang-terangan melalui kasus korupsi. Pemerintah sebagai pihak penguasa seharusnya bisa memberikan teladan yang baik bagi rakyat dan harus tegas memberikan sangsi teradap pihak yang bersalah.

Selain pemerintah, pihak yang terkait dengan pengadilan juga harus sadar akan tanggung jawabnya. Itu berarti mereka harus jujur dalam menentukan peradilan. Sehingga masyarakat benar-benar percaya akan perannya. Dengan dimulainya kejujuran dari pihak-pihak yang berkedudukan tinggi serta dengan sanksi yang tegas oleh pihak peradilan masyarakat pasti akan berusaha untuk berlaku jujur. Namun jika hal ini hanya menjadiangan-angan semata niscaya kejujuran di Indonesia sampai kapanpun akan langka, bahkan mungkin punah.

Ideologi di Tengah Arus Global

Septina Nafiyanti*


Selama puluhan tahun kita telah mengakui satu ideologi yang terpatri dalam pancasila. selama itu pula bangsa indonesia berdiri sebagai negara dengan jati diri seperti yang tertuang dalam isi pancasila. Namun seiring berubahnya waktu ideologi tersebut mulai terkikis oleh perkembangan zaman. Derasnya arus global telah mengubah pola pikir masyarakat Indonesia menjadi lebih individualis. Tak heran jika persatuan yang tertuang dalam teks pancasila poin ke tiga mulai terkikis oleh sifat tersebut.

Kuatnya persaingan global yang menuntut bangsa indonesia terjun ke arena persaingan justru ditanggapi dengan sikap modernisme yang kian melenceng. pasalanya mereka justru lebih menerima pengaruh dari luar tanpa memperhatikan jati diri dan nilai-nilai luhur bangsa indonesia yang tertuang dalam pancasila. seperti halnya sekularisme yang pernah menjadi musuh bangsa Indonesia karena bertentangan dengan ideologipun kini mulai ditolelir. Sungguh pergeseran budaya yang sangat luar biasa, ideologi yang dulunya terpatri dalam setiap nafas bangsa Indonesia dianggap sebagai ideolgi kuno dan ketinggalan zaman.

Tak hanya itu saja, sikap wakil rakyat yang ingin berbuat semaunya juga merupakan suatu penyimpangan dari isi pancasila poin ke empat. Bagaimana tidak, jika kerakyatan yang diimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan diganti dengan kerakyatan yang dipimpin dalam kewenangan dan perwakilan. Perubahan ideologi tersebut terlihat jelas ketika DPR sebagai wakil rakyat mengambil keputusan untuk menuntut fasilitas pribadi tanpa adanya kesepakatan rakyat.

Fenomena tersebut telah memporak-porandakan nilai luhur bangsa yang dulunya diperjuangkan oleh pendahulu-pendahulu kita. Jika kita teringat sejarah penetapan pancasila sebagai ideologi bangsa, maka kita juga akan mengingat bagaimana pejuang kita dulu berkali-kali mengajukan teks dan memusyawarahkan bersama untuk mencari ideologi yang paling tepat dari berbagai macam etnis di Indonesia. Ideologi tersebut merupakan final dari pencarian jati diri, melihat kondisi bangsa Indonesia yang plural.

Di tengah derasnya arus global seperti saat ini, seharusnya nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sangat penting untuk dipertahankan, karena nilai-nilai tersebut tidak akan pernah terkikis oleh waktu dan akan selalu relevan dengan kondisi bangsa Indonesia kapanpun. untuk mempertahankan ideologi tersebut perlu adanya peran dari seluruh masyarakat Indonesia, baik itu pemerintah, maupun rakyat.

Kesadaran masing-masing individu akan pentingnya nilai-nilai luhur bangsa sangat diperlukan. Karena lahirnya ideologi tersebut juga merupakan awal dari komitmen bangsa Indonesia untuk mengawali langkah menuju bangsa yang seutuhnya. Oleh karena itu sejarah perumusan pancasila sampai pada hasil yang diperoleh dari ideologi tersebut merupakan cermin akan pentingnya pancasila sebagai ideologi bangsa yang perlu dipertahankan.

Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sehatusnya tidak hanya diakui sebagai formalitas akan tetapi nilai-nilai tersebut sangat penting untuk diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa. Karena nilai-nilai tersebut merupakan jiwa dari bangsa indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, budaya, dan bahasa.

Pelukan Dusta

Dalam pelukan dusta

Kukerah semua nada,

mengucur dari kedua bibir

Meletupkan suara tak bernyawa


Tergopoh, jujurku luntur

jiwaku hancur,

nadiku mendengkur,

keyakinanku soak tertempa mozaik dusta

Mengukir sejarah penghianatan


Nafas yang masih rekat dengan raga ini,

terus mecabik-cabik rasa yang timbul tenggelam,

mengitari hati

Meruntuhkan segala yang nyata

Novie Septi

Kudus, 31 juli ‘08

Kamis, 03 Juli 2008

Saatnya Membangun Kekuatan Maritim

Berita tertangkapnya kapal yang melakukan illegal fishing memang bukan kali pertama di Indonresia. Namun ironisnya peristiwa ini masih saja terus terjadi. Bahkan masih banyak kapal berbendera asing yang masih beroperasi di wilayah ZEE (zona ekonomi eksklusif).

Pelaku illegal fishing tentunya bukan nelayan bodoh yang selama ini kita kenal di Indonesia. Mereka sudah terorganisir dengan rapi dan solid, bahkan hafal betul wilayah target yang akan dijarahnya. Muncul dugaan bahwa mereka mendapat pasokan logistik dan bahan bakar dari kapal tramper dan tanker (Gatra Nomor 22, Kamis 17 April 2008). Solidnya kerja mereka mengindikasikan, bahwa mereka telah beroperasi sejak lama di perairan Nusantara.

Kemudahan mereka beroperasi memang tidak lepas dari peran oknum yang selama ini bertugas di perairan tersebut. Hal ini terbukti dari keberadaan mereka yng tetap aman selama beberapa waktu lalu. Ini seolah menjadi pertanda lemahnya kekuatan maritim di Indonesia.

Pentingnya kekuatan maritim

Diakui atau tidak, Indonesia memang sangat minim pengawasan terhadap nelayan asing. Kekuatan kita seolah hanya terpaku pada kekuatan darat. Padahal wilayah perairan indonesia lebih luas dari daratan. Bahkan, batas wilayah indonesia, sebagian besar juga merupakan wilayah perairan. Kenyataan ini berbeda dengan masa kepemimpinan presiden Soekarno. Pada masa itu, kekuatan laut kita lebih besar dari pada angkatan darat, dan tak heran jika malasyia pun tak berani berkutik ketika “ganyang Malaysia” berlaku.

Tak hanya pada masa Soekarno saja kita dapat berkaca. Bahkan jika kita menoleh lebih jauh kebelakang, Kerajaan majapahit, Demak, Mataram, merupakan contoh konkrit kebesaran wilayah nusantara yang tak lain berasal dari kekuatan maritim. Keberhasilan mereka membentuk kekuasaannya, tak lepas dari kekuatan maritim yang di bentuk dengan solid. Karena wilayah Indonesia sangat strategis dalam pelayarannya. Kini saatnya sistem di indonesia dibenahi. Bukan hanya memikirkan masalah politik dan kekuasaan individu dan kelompok. Tetapi sudah saatnya pemerintah dan wakil rakyat memikirkan nasib wilayah kita. Jangan sampai sejarah kehancuran di masa lalu terulang kembali karena masyarakatnya sibuk dengan kepentingan politik, sehingga mereka tidak akan mendapatkan papun karena wilayahnya telah diduduki oleh orang lain. Percikan sejaran masa lalu perlu menjadi contoh ditengah kondisi bangsa Indonesia yang sedang kritis.

salam

blog baru