Jumat, 15 Agustus 2008

Politisi keranjingan virus pamer di media masa

Oleh : Septina Nafiyanti*


Pengaruh media masa yang cukup banyak menyita
perhatian publik, rupanya tidak dilewatkan oleh para
elit politik. Bahkan beberapa politisi seperti
Wiranto, Megawati, Sutiyoso dan Andi Malarangeng siap
tempur di media masa demi menarik perhatian publik.

Pesta pemilihan umum (pemilu) yang tinggal sejengkal,
ternyata gaungnya sudah dapat kita rasakan mulai
sekarang. Sejumlah elit politik sudah siap tebar
pesona di mana-mana, termasuk di media masa.
Masing-masing politisi mulai menyanjung-nyanjung
dirinya sendiri dengan jurus membuai publik.

Di zaman yang serba instan seperti saat ini,
sepertinya kampanye model lama memang sedikit banyak
mulai di eliminir. Selain hanya menghimpun masa yang
membuat kerusuhan dan mengganggu ketertiban umum,
kampanye model klasik ini ternyata tidak lagi efektif
karena hanya menggembar-gemborkan si calon pemimpin
tanpa adanya gambaran sosok calon yang akan mereka
pilih. Alhasil, media masa jadi pilihan paling ideal
untuk menunjukkan pada publik tentang hal-hal baik
yang berhubungan dengan si politisi tersebut.

Selama ini media masa –terutama televisi-
memang terkenal dengan panggung hiburannya. Banyak
artis yang menyita perhatian publik dengan membuat
sensasi, dan ternyata cara ini sangat efektif untuk
mendongkrak nama-nama baru di kalangan artis ibu kota.
Mungkin itulah yang membuat inspirasi bagi para
politisi untuk turut mendongkrak nama mereka lewat
nampang di sejumlah media masa.
Nama-nama politisi yang namanya bakal terpampang saat
pesta pemilu tahun ini, rupanya sudah menyiapkan
amunisi untuk melawan saingannya. Media merupakan
andalan yang cukup memberikan bekal rasa percaya diri
pada pesta yang menguras uang negara . Namun apakah
rakyat siap dengan gempuran media yang mengibarkan
nama-nama politisi tersebut, dan dengan memamerkan
kelebihannya masing-masing tanpa sedikitpun
membeberkan tentang kekurangannya? Jika semacam ini
kasusnya, apakah benar rakyat bisa memilih calon
pemimpin dengan benar?

Skenario para politisi

Jika bualan-bualan kosong para politisi memenuhi layar
kaca televisi, dan satu halaman penuh koran, maka
sudah dapat dipastikan pilihan rakyat hanya
halusinasi, seperti halnya rakyat menonton sinetron,
dan rakyat telah masuk pada setting si penulis
skenario. Begitulah gilanya moral pemimpin rakyat ini
yang memaksa rakyatnya masuk pada skenario mereka.

Di saat bangsa Indonesia mengalami permasalahan
komplek yang terus menjejali bangsa Indonesia selama
ini. Sudah barang tentu, kita sangat membutuhkan sosok
pemimpin yang siap berjuang untuk bangsa ini tanpa
pamrih. Bukan malah berhayal jadi pemimpin di negeri
dongeng.

Wilayah bangsa Indonesia yang berserak dari
Sabang sampai Merauke serta terdiri dari berbagai
macam suku ras, dan agama merupakan fenomena nyata
yang harus dijaga keserasiaannya. Melihat besarnya
tanggung jawab yang nantinya harus di jaga dia atas
tampuk kekuasaan pemimpin bangsa ini, maka bukan lagi
saatnya mereka tebar pesona kepada publik namun
berfikir akan dibawa kemana rakyat Indonesia ke
depan?

Media juga seharusnya dapat menempatkan porsi mereka
sebagai calon pemimpin bangsa ini. jangan sampai media
hanya sebagai tempat iklan. Namun mencari cara
bagaimana mengekspose seluruh gerak gerik para calon
pemimpin bangsa agar publik –khususnya rakyat
Indonesia-  tahu benar figur calon pemimpin
yang akan mereka pilih.

Minggu, 10 Agustus 2008

Jangan Korbankan Lagi Nasib Rakyat

Oleh: Septina Nafiyanti*

Surat keputusan bersama (SKB) lima menteri untuk pengoptimalan beban listrik melalui pengalihan waktu kerja pada sektor industri di Jawa-Bali akhirnya diberlakukan pada 21 Juli 2008. keputusan yang menggetirkan bnyak pihak tersebut akhirnya memaksa pekerja untuk masuk kerja pada hari libur.

Susut (losses) energi yang tak mampu ditangani PLN, menjadi alasan pemerintah membuat kesepakatan untuk merubah jam kerja. Padahal secara tidak langsung pemrintah justru memporak-porandakan pola kerja dan ketepatan dalam pembagian waktu. Jam kerja yang umumnya mulai hari senin sampai jum’at secara tiba-tiba di ganti menjadi sabtu dan mingggu. Padahal umumnya hari libur tersebut merupkan jam berkumpul keluarga dengan perhatian lebih terhadap anak-anak setelah lima hari menghabiskan waktu di tempat kerja.

Bukan hanya waktu saja yang dirugikan. Secara finansial, kemungkinan kerugian untuk para pekerja atau pun perusahaan juga tidak kalah besar. Beban lembur yang di bebankan kepada perusahaan ternyata juga menjadi masalah yang cukup besar, karena perusahaan akan membayar dua kali lipat dari gaji biasa. Lebih parah lagi jika perusahaan tidak mau membayar lembur, secara otomatis kerugian besar kembali di reguk para buruh.

Butuh Analisis Lebih Lanjut

Analisis kejadian tersebut seharusnya menjadi pertimbangan cukup besar oleh pemerintah. Pasalnya, selama ini pemerintah hanya menuruti keluhan-keluhan PLN tanpa berfikir panjang tentang nasib rakyat. Padahal semua tahu, posisi PLN sebagai perusahaan yang memonopoli seluruh pasokan listrik di Indonesia tidak mungkin mengalami kerugian. Bahkan berapapun tarif yang diberikan PLN, rakyat tetap harus membayar karena tidak ada pilihan lain. Belum lagi subsidi yang baru saja diberikan pemerintah sebesar 60 triliyun dengan alasan kenaikan BBM juga terpenuhi.

Sepertinya pemerintah tidak pernah mau tahu urusan rakyat. Semua beban di berikan kepada rakyat tanpa mau memperhatikan bagaimana kinerja PLN. Pemerintah seharusnya tidak gegabah mengambil keputusan. Konskuensi atas setiap tindakaan seharusnya difikirkan secara matang.

Di saat rakyat terkena imbas dari segala permasalahan di negeri ini, pemerintah seharusnya muncul sebagai pembela rakyat Analisis terhadap masalah listrik seharusnya lebih ditekankan ke wilayah PLN sendiri. Pendanaan yng cukup besar dari pemerintah seharusnya ada evaluasi secara pasti sehingga benar-benar untuk kepentingan pemenuhan listrik kepada rakyat. Karena bagaimanapun kita tetap harus waspada dengan aliran dana ke PLN, pasalnya dana yang di keluarkan tidak seimbang dengan hasil yang berupa distribusi listrik byar-pet yang diberikan kepada rakyat.

Pemerintah memang perlu mengawasi kinerja PLN secara intens. Karena Segala kemungkinan memang bisa saja terjadi. Misalnya saja, kemungkinan mereka yang bekerja di PLN bisa jadi tidak berkompeten dalam bidangnya atau malah tidak bekerja dengan baik. Kini saatnya pemerintah membuka mata, agar tidak selalu merugikan rakyat.