Rabu, 21 Juli 2010

Potensi Desa Wisata Durian di Jepara

 
Kompas Jateng, 14 Januari 2010

Oleh SEPTINA NAFIYANTI
Petani dan Peneliti di Paradigma Institute STAIN Kudus, tinggal di Jepara

Sejak dulu, Jepara terkenal dengan durian bervarietas tinggi. Sebut saja durian petruk yang terkenal manis dan legit, serta daging buahnya yang sangat tebal. Terakhir, tiga varietas baru yaitu sutriman, subandi, dan sukarman juga diakui secara nasional melalui lomba durian oleh Kementerian Pertanian.

Melihat potensi Jepara dengan varietas unggul buah durian itu, saya jadi mengingat kebun apel Kusuma Agrowisata di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. Rasa-rasanya tidak salah jika pemerintah kabupaten mau membuat konsep desa wisata durian di Jepara. Terlebih, area untuk pengembangan desa wisata durian sudah ada. Di Kecamatan Pakis Aji ada lahan seluas 50 hektar yang ditanami durian petruk dan mulai dikembangkan sejak lima tahun lalu.

Konsep desa wisata durian otomatis bisa semakin mengenalkan keunggulan durian-durian asal Jepara. Varietas-varietas durian unggul asal Jepara juga akan semakin dikenal, bukan hanya durian petruk.

Konsep desa wisata durian juga bisa merangsang perekonomian di Jepara. Petani di sekitar desa pariwisata bisa diarahkan untuk budidaya tanaman durian. Masyarakat sekitar juga bakal terkena imbasnya dengan menciptakan iklim pariwisata. Sebab, setiap tempat wisata tentu memberikan peluang usaha untuk masyarakat sekitar, seperti berdagang, parkir.

Dengan desa wisata durian, masyarakat dari berbagai kota bisa langsung menuju ke lokasi. Bahkan, tidak hanya untuk membeli durian, akan tetapi juga bisa menikmati suasana kampung dengan ciri khas masayarakat sekitar.

Salah satu cara untuk mendongkrak perekonomian melalui budidaya durian adalah membuat durian berbuah lebih dari satu kali dalam setahun atau dengan membuat durian berbuah tidak pada musimnya.

Mal dan Ekonomi Rakyat Kudus

Oleh Septina Nafiyanti
GAGASAN Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kudus membangun mal di kompleks tugu identitas kota masih menjadi perbincangan berbagai kalangan.

Misalnya, kalangan pedagang kaki lima (PKL) yang harus kembali tergusur, pedagang Pasar Bitingan yang mulai resah dengan pesaing barunya, pemerhati lingkungan yang khawatir berubahnya ruang terbuka hijau itu dengan kehadiran mal-mal megah.
Persoalan ini juga sudah berulang kali dibahas di DPRD dan didiskusikan bersama para tokoh.

Rupanya iming-iming pajak yang besar dari sektor ini membuat Pemkab seperti melupakan berbagai kepentingan publik. Eksekutif menargetkan pendirian mal baru itu selesai pada Agustus sehingga pada bulan Puasa sudah bisa beroperasi.

Keuntungan memang boleh diraih oleh Pemkab dengan terus membangun pusat perbelanjaan modern. Namun jangan sampai keuntungan material tersebut harus dibayar mahal dengan lunturnya nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal.

Jika dicermati, pembangunan mal-mal di Kudus, termasuk dalam skala kecil di wilayah kecamatan, telah menggeser nilai sosial dan budaya masyarakat lokal yang selama ini terkenal religius, gemi, setiti, lan ngati-ati (hemat, teliti, dan berhati-hati).

Kehadiran pusat perbelanjaan modern itu, secara tidak langsung mengubah gaya hidup masyarakat yang religius dan hemat itu menjadi glamour dan konsumtif.

Dampak lain adalah terpinggirnya para pelaku ekonomi kecil yang berada di sekitar mal tersebut.
Sebelumnya, sudah ada tiga pusat perbelanjaan modern di kota itu. Ketiganya berada pada lokasi yang tidak tepat. Pertama adalah Matahari Department Store di Plasa Kudus.

Lokasi ini berada tepat di depan Pasar Bitingan yang merupakan jantung mata pencaharian masyarakat kecil di Kudus dan sekitarnya. Begitu pula dengan Swalayan Ada yang berlokasi di depan Pasar Jember. S

ecara tidak langsung kedua fasilitas itu telah menghambat mata pencaharian warga Kudus, karena mengalihkan konsumennya pada usaha pemodal kuat tersebut. Adapun Ramayana persis berada di depan kompleks kantor Pemkab Kudus dan dekat dengan Pasar Kliwon.
Makin Menyudutkan Pembangunan tiga pusat perbelanjaan modern ini telah memberikan gambaran jelas tata ruang kota Kudus masih jauh dari keberpihakan terhadap masyarakat kecil.

Bila rencana pembangunan mal baru direalisasikan maka bukan tidak mungkin semakin menyudutkan pedagang di Pasar Bitingan serta PKL yang harus direlokasi karena tempatnya disulap menjadi mal.

Sebagai kota industri, Kudus memang terkenal dengan pabrik rokoknya. Namun, sekali lagi kita amati, industri ini tidak lantas membuat masyarakatnya kaya dan pantas dicekoki dengan gaya hidup wah ala kota besar.

Kita harus ingat, sebagian masyarakat menjadi buruh pabrik rokok. Hal ini sangat tidak imbang jika di kabupaten yang luasnya hanya 10.136,49 hektare itu memiliki tiga mal besar.

Selama ini, Pemkab terkesan memaksakan gagasannya. Dengan mengacu pada Perda Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kompleks tugu identitas yang terletak di jalan antara Jati-kota Kudus diplot sebagai wilayah campuran, terdiri atas permukiman, industri, pertokoan sehingga dimungkinkan di tempat itu dibangun pusat perbelanjaan.

Namun, hal itu berarti terbentur dengan RTRW tahun 2007-2016 karena DPU mengharuskan setiap pembangunan gedung harus diimbangi dengan penyediaan ruang terbuka hijau seluas 30 persen bangunan tersebut. Padahal, dalam perencanaan mal tidak ada rencana desain ruang terbuka hijau.

Sebenarnya tidak sulit bagi pemerintah untuk mengembangkan pusat perekonomian di Kudus. Pasar Kliwon yang telah lama terkenal sebagai pusat grosir di pantura timur, sangat mungkin dikembangkan seperti pusat grosir Tanah Abang, Jakarta. B

elum lagi pasar-pasar tradisional lain yang terkenal murah dan lengkap dibanding pasar-pasar di kabupaten lain. Sungguh peluang yang luar biasa besarnya jika Pemkab mau mengelola dan memanfaatkan dengan baik.(10)

— Septina Nafiyanti, pemerhati masalah sosial, tinggal di Kudus